`

Monday, April 30, 2007

berita Movie


"Love is Cinta" Mengembalikan Makna Cinta, ke Mana?

Produksi : Kharisma Starvisionplus

Oleh : Aris Kurniawan

Cinta memang bukan gagasan yang rasional, tapi sebaliknya irrasional. Irrasionalitas cinta tidak hanya mewujud dalam banyak ungkapan yang terlontar dari sepasang kekasih yang tengah kasmaran, melainkan juga bisa menampakkan dirinya dalam bentuk peristiwa-peristiwa penuh keajaiban.

Inilah ide dasar yang diusung film “Love is Cinta”, garapan Hanny R Saputra. Dibuka dengan adegan kelulusan sekolah, Cinta (Acha Septriasa) dan Ryan (Irwansyah) larut dalam kegembiraan sekaligus kesedihan pada saat bersamaan. Mereka bersedih karena harus berpisah. Ryan yang akan meneruskan sekolah ke Amerika harus meninggalkan Indonesia, padahal ia belum mengungkapkan kata cinta kepada kekasihnya meski hubungan keduanya sudah demikian dekat. Selama ini Ryan hanya menyatakan ‘sayang’ pada kekasihnya itu. Sebegitu sulitkah mengatakan cinta bagi remaja yang hidup di tengah pergaulan metropolis? Dari sinilah irrasionalitas cinta dan cerita dalam film ini dimulai. Ryan yang sudah memegang tiket pesawat ke Amerika mendadak berubah pikiran. Ia membatalkan keberangkatannya dan berbalik hendak menemui Cinta untuk menyatakan cintanya secara langsung lewat kata-kata. Apa daya, di tengah jalan ia harus terenggut nyawanya dalam sebuah peristiwa heroik dan tak terduga.

Ryan dijemput malaikat (Agastya Kandau) hendak dibawa ke surga, tapi ia menolak dibawa ke surga karena ia belum mengungkapkan kata cinta pada kekasihnya. Sang malaikat akhirnya memberi Ryan waktu selama tiga hari untuk menemui kekasihnya dan mengatakan ‘cinta’. Tetapi rupanya tidak mudah bagi Ryan untuk meyakinkan Cinta, bahwa ia tertahan ke surga dan meminjam raga Doni, seorang penyuka sesama jenis (Raffi Ahmad), untuk menyatakan kata ‘cinta’ pada kekasihnya itu. Ide tentang kekuatan Cinta yang mampu menembus ruang dan waktu tentu saja sebuah ide yang sudah lapuk. Dengan mudah film ini mengingatkan kita pada film Hollywood, “Ghost”. Syukurlah “Love is Cinta” sedikit mampu memberi sentuhan kreatifitas sehingga ide tersebut terasa segar kembali. Dibanding “Heart” film ini menyajikan jalinan cerita yang lebih kompleks. Meski resikonya plot terasa menjadi longgar dan tidak seketat “Heart”. Hadirnya tokoh Doni yang memiliki orientasi seksual menyimpang misalnya. Tetapi menyusupkan cerita tentang gay dalam sebuah film drama remaja kiranya merupakan hal cukup memberi kelebihan lain bagi film ini.

Film ini seperti dikatakan Hanny hendak mengembalikan makna cinta, sebagaimana diverbalkan melalui judulnya yang terdengar begitu lugu. Sayang, yang terjadi justru memperlihatkan kerancuannya ketika memadankan ‘love’ dengan cinta. Dalam budaya asalnya, kata love sangat mudah dan ringan terlontar dalam percakapan dengan konteks yang sangat luas. Ia tidak menuntut komitmen apa pun. Bagaimana kata ‘cinta’ yang menurut Hanny penuh komitmen dipadankan dengan love? Barangkali ini strategi marketing belaka. Sinematografi dan editing film ini tidak serapi “Heart’. Sementara untuk akting para pemain, hanya Raffi Ahmad yang cukup mencuri perhatian.Dibanding “Heart”, film ini memperlihatkan kemahiran Hanny R Saputra dalam mengemas cerita yang sederhana jadi dramatis. Bagi para remaja yang gemar film romantis dan penuh kesedihan yang tertahan-tahan, film ini menyajikannya dengan cukup baik.

“3 Hari untuk Selamanya”: Road Movie Pertama di Indonesia

Miles Films tak pelak merupakan lokomotif dunia perfilman Indonesia pasca-tidur panjangnya. Film-film produksinya, seperti “Petualangan Sherina” (1999), “Ada Apa dengan Cinta” (2001) menandai menggeliatnya kembali nafas perfilman Indonesia yang nyaris terputus.

Januari lalu film terbaru Miles Films, bertajuk “3 Hari untuk Selamanya” lolos sensor dengan 8 potongan. Kekecewaan ini membuat pihak Miles menunda merilisnya di bioskop-biosksop tanah air. Dan baru pada Juni nanti film ini dirlis. Tentang “3 Hari untuk Selamanya” dengan sejumlah ‘sejarahnya’, dan visi yang diusung Miles Films terungkap dalam bincang-bincang antara Mira Lesmana dan Riri Riza dengan Aris Kurniawan dari Indosinema, suatu petang di kantor Miles Film, Jakarta, belum lama berselang. Berikut petikannya.

Hal mendasar yang mendorong Anda memproduksi film “3 Hari untuk Selamanya”?
Riri Riza: Keinginan setelah lama membuat film. Kami percaya bahwa film harusnya bisa menjadi sesuatu yang punya karakteristik yang khusus. Maksudnya begini, kenapa ia menjadi film, kenapa harus ditonton di bioskop, kenapa ia penting ditonton. Itu adalah karena ia punya kelebihan di atas rata-rata dari tontonan yang bisa kita tonton dengan mudah di televisi, di mana-mana. Itu prinsip saya yang utama. Film itu harus punya semacam keberanian atau kelebihan untuk menantang jamannya, kode-kode umum yang berlaku di masyarakat.
Pada saat kita membicarakan dengan penulis naskah film ini sekitar 2004, sebenarnya waktu Sinar Ayu Massie pertama kali mengungkapkan gagasan ini, kami merasa bahwa ini merupakan satu momen untuk mewujudkan keinginan itu. Waktu “Gie” juga demikian. Jika “Gie” berbicara tentang politik, kali ini tentang anak muda, tentang keluarga, tentang pola hubungan antara sesama anak muda dan anak muda dengan orang tuanya.
Mira Lesmana: Ngobrol dengan Riri bahwa dia ingin membuat film tentang anak muda yang dalam vase usia yang paling menarik, yakni sebuah vase yang tidak lagi bisa disebut remaja, tapi dewasa pun belum. Apa yang terjadi kalau mereka melakukan sebuah perjalanan hanya berdua, pasti akan banyak hal yang terungkap. Istilahnya kita kemudian bicara soal genre road movie. Sebagai orang yang sering melakukan perjalanan, kami tahu biasanya perjalanan itu menjadi suatu momen yang menarik. Kalau perjalanan itu dilakukan sendirian atau dengan orang-orang tertentu kita mendapat pengalaman-pengalaman khusus. Saya dan Riri selalu merasa pencarian jati diri anak muda itu selalu menjadi tema menarik diangkat ke film. Tapi melalui cerita ini bisa terefleksi ke masa depan juga, orang tua dan lingkungan di sekitarnya. Waktu ide itu muncul menurut saya ini film penting untuk direalisir.
Riri Riza: Kita juga suka dengan film-film perjalanan. Film perjalanan itu adalah sebuah genre atau bentuk film yang selalu akan membuka banyak sekali hal dengan cara dan pola yang menarik. Bisa banyak sekali karakter, banyak sekali warna dalam film perjalanan.
Mira Lesmana: Buat kita, perjalanan itu adalah ketika seseorang keluar dari rutinitas, ia terlepas dan terpental ke sebuah ruang yang berbeda dari apa yang mereka temukan sehari-hari. Ruang yang berbeda membuat pikiran juga berbeda.

Siapa yang meminta menggarap naskah ini? Kalian atau Sinar Ayu Massie yang menawarkan?
Mira Lesmana: Sebenarnya Sinar Ayu Massie sudah kita kenal sejak AAdC. Waktu itu dia masih seorang penulis lepas di sebuah majalah, saya suka sekali dengan tulisan dia. Suatu hari saya tanya dia, punya semangat menulis skenario atau tidak, dia bilang mau menjadi penulis skenario. Tapi itu jauh sebelum ide “3 Hari untuk Selamanya” terpikirkan. Ide ini muncul dan saya diskusikan dengan Riri untuk mencari penulis yang menarik dan mampu mengeksplor ide ini lebih jauh. Lalu saya mengkontak Sinar Ayu. Menceritakan ide besarnya. Kita memberi kebebasan pada Ayu untuk mengeksplorasinya.

Dalam dialog, banyak sekali ungkapan liberal di film ini, misalnya ucapan Ambar yang sinis terhadap lembaga pernikahan…
Riri Riza: Sebenarnya tipikal pembicaraan yang akan muncul dalam situasi seperti itu. Apa pun yang mereka bicarakan, mereka mencoba melakukan protes terhadap sikap hipokrit masyarakat. Jadi bukan hanya dalam soal pernikahan. Tapi juga seks, dan nilai-nilai lainnya.
Mira Lesmana: Ambar dalam posisi bingung. Kakaknya mau menikah tapi dengan alasan yang kegep sama orang tuanya, bapaknya memaksa. Sementara Ambar sendiri tahu kehidupan perkawinan bapak dan ibunya tidak harmonis. Jadi Ambar bingung. Kalau Yusuf jelas mengatakan bahwa keluarga sakinah adalah impian dia. Semua terjadi dalam dialog. Dan bukan hanya itu yang menarik, sebab ada isu lain yakni soal tradisi. Yakni tradisi keluarga yang bertabrakan dengan cara pandang anak muda sekarang.

Film ini juga menampilkan tokoh-tokoh yang sangat tidak stereotip, pak haji yang cabul di kampung, misalnya ...
Riri Riza: Ini sebuah potret yang sebenarnya sering kita lihat. Manusia tidak bisa kita nilai dari penampilannya. Kita juga tidak men-judge, buruk atau tidak. Biasa aja, begitu aja.
Mira Lesmana: Tidak stereotip. Karena kita tidak men-judge tokoh ini baik atau buruk. Cuma ada perbedaan memandang saja.

Apakah sudah menimbang hal ini bisa mengundang tentangan?
Riri Riza: Tentu sudah, karena membuat film tentu melalui proses yang panjang. Kita berkali menulis ulang. Tapi pada saat bersamaan kita juga berpikir bahwa film adalah sebuah ekspresi pikiran, pemikiran, pandangan kita terhadap zaman, lingkugan. Dan manusia harus berpikir merdeka. Kemerdekaan, kebebasan berekpsresi dilindungi hukum di negeri ini. Kalau saya berpegang pada hal ini saja.
Mira Lesmana: Seolah sekarang ini kita bebas mengemukakan pendapat, tapi di saat yang sama kita juga punya larangan-larangan. Kami sadar betul hal itu. Jadi kami siap jika mungkin ada penentangan. Tapi buat kami, jika kita selalu terpaku pada kekhawatiran semacam itu, nggak akan jadi karya ini.

Kabarnya film ini juga kena delapan potongan oleh LSF, bagaimana kalian menyikapinya…
Riri Riza: Kita tidak bisa menolak hal ini. Aturan sensor itu merupakan peninggalan lama. Kami sudah tahu, bahwa film kami nggak akan lolos begitu saja.
Mira Lesmana: Tapi kita tetap datang kepada ibu Titi Said, kita coba memberikan argumen. Tapi pada akhirnya, kita tidak berdaya.
Riri Riza: UU Perfilman, di bawah UU Perfilman itu ada paraturan pemerintah No 6, 7 dan 8 th 1994, yang mengatur tentang lembaga sensor film, BP2N dan usaha-usaha perfilman. Kita tahu aturan ini tidak memungkinkan film yang kita buat akan dapat lolos sensor secara mulus.

8 potongan itu apakah juga memotong gagasan Anda di film tersebut?
Riri Riza: Kalau saya merasa gagasan utuh sebuah film tidak akan hilang hanya karena potongan beberapa bagian. Tapi pada saat yang sama, sebuah film yang dicopot satu frame saja, pasti ada sesuatu yang hilang. Satu detik ada 24 frame. Saya yakin apa yang dilakukan LSF tetap parsial. Hanya mengganggu kenikmatan kita menonton aja. Tapi gagasannya tidak akan lepas, tidak akan hilang.

Oya, film ini menyajikan adegan Yusuf kencing di pinggir jalan tiga kali, sementara Ambar…
Mira Lesmana
: Ambar juga kencing di pom bensin. Tapi apa itu penting…hahaha
Riri: Mungkin lebih menarik melihat laki-laki kencing, ketimbang perempuan yang harus jongkok. Laki-laki kencing masih ada landscape-nya.

Oya, kenapa lebih dulu diputar di luar negeri, ketimbang negeri sendiri?
Mira Lesmana: Film ini masuk ke LSF Desember. Januari dapat kepastian film ini lolos dengan 8 potongan. Tadinya kita mau merilis pada Maret lalu. Tapi soal pemotongan ini bagi kami menjadi satu hal yang membuat kami berpikir untuk mendesign kembali film ini supaya bisa ditonton utuh. Waktu itu argumen kami, bahwa film kami hanya untuk 18 tahun ke atas. Kita akan bekerja sama dengan pihak bioskop supaya penonton film ini benar-benar berusia 18 tahun ke atas. Dan pemutarannya pun terbatas. Kita sadar betul hal itu. Pada saat kita memberi argumen, kita tidak bisa cepat memutuskan untuk diputar Maret di Indonesia. Tapi lebih dulu diputar di Hongkong International Film Festival. Karena mereka meminta untuk diputar premierenya di sana tanpa potongan.

Soal soundtrack-nya….
Mira Lesmana:
Kita menggandeng grupband indi, Float. Beberapa lagunya menggunakan syair bahasa Inggris. Nggak masalah buat kita. Karena mereka merasa lebih fasih mengekspresikannya dalam bahasa Inggris. Yang penting mood film ini terefleksikan dalam lagu-lagu mereka.

Bukan cermin cermin ketidakpercayaan diri dengan bahasa Indonesia?
Mira Lesmana: Saya kira bukan. Ini merupakan dampak lingkungan. Banyak di antara anak-anak muda yang sekolah di luar negeri misalnya.
Riri Riza: Menurut saya ini bagian dari kenyataan bahwa kita punya semacam kebiasaan atau keterbukaan terhadap pengaruh budaya luar. Persoalan anak muda, generasi sekarang bukan hanya milik kita sendiri. Ia menjadi bagian dari persoalan global. Seperti saya membuat film road movie, ini bukan tradisi kita, tapi pada saat bersamaan dengan road movie kita bisa menengok tradisi kita. Atau disebut global approach yang mengantar kita pada nuansa lokalitas kita sendiri. Musik, film, tidak bisa disebut sepenuhnya sebuah produk lokal.
Mira Lesmana: Yang menarik memang melihat bentrokan seperti yang terlihat di film ini. Misalnya Yusuf yang selalu sinis jika mendengar Ambar omong inggris, padahal dia sendiri bisa omong Inggris.

Soal Nicholas Saputra lagi di film Anda?
Mira Lesmana: Kalau kita bekerja tentu harus dengan orang-orang yang comfortable. Enak berinteraksi satu sama lain. Dan mau menyerahkan diri. Bukan cuma Nicholas, semua kru-nya juga itu-itu juga. Yak arena faktor comfortable di atas.
Riri Riza: Kualitas, antusiasme, bakat, kemampuan yang harus dimiliki pemain film ada pada Nicholas. Dan karakternya lebih tepat.

Apa sih trademark-nya yang ingin diusung Miles melalui film?
Riri Riza: Kalau saya lihat, film-film Miles adalah film-film yang selalu menyentuh persoalan-persoalan yang bisa diakses masyarakat. Punya conten yang cukup mendalam dan sangat memperhatikan aspek teknis. Dan ini harusnya menjadi standar bagi siapa pun yang membuat film.
Mira Lesmana: State of mind kita adalah bahwa kita harus selalu membuat film berkualitas. Film sekomersial apapun, bagi kita sebuah film harus dibuat dengan kualitas. Sebab kita tidak tahu sebuah film komersial atau tidak. Seperti misalnya waktu kita membuat “Petualangan Sherina” maupun “Ada Apa dengan Cinta”, kita tidak berpikir ini film komersial. Tapi berangkat dari keinginan membuat film berkualitas.
Riri Riza: Miles dalam 7 tahun sudah membuat 8 film.

Target selanjutnya dari film ini?
Mira Lesmana:
Bisa dinikmati oleh penonton, menjadi hiburan yang asyik. Nggak cuma lewat saja. Menjadi wacana yang dibicarakan dan diperdebatkan.

Untuk target Festival International?
Mira Lesmana: Tentu ya, semua film kita travel ke festival international. Hanya kita memang tidak teriak-teriak ke media. Festival International memang selalu menunggu film-film Miles. Sudah banyak yang meminta. Belanda, Jepang, Korea, New York. Kita tinggal mengatur jadwal.

Sementara kalangan mengatakan masuk tidaknya sebuah film kita ke festival international adalah persoalan pergaulan si kreatornya
Mira Lesmana: Tidak melulu begitu. Misalnya, setelah “Gie” masuk Pusan International Film Festival, Korea. Mereka menunggu film Miles berikutnya. Tapi mereka juga tentu melihat film kita, cocok atau tidak diputar di festival bersangkutan.



'Spider-Man 3' Bukukan Rekor
'300' Bersaing Dengan 'Pirates'

Lima nominasi yang diraih oleh film '300' dalam MTV Movie Award 2007 telah membuat film yang dibintangi oleh aktor Gerard Butler ini bersaing keras dengan Johny Depp dalam film sekuel `Pirates of the Caribbean sequel, Dead Man's Chest`yang mendapatkan 4 nominasi. Kebetulan kedua film ini sama-sama mendapatkan nominasi untuk kategori film terbaaik, penampilan terbaik dan peran penjahat terbaik.

`300` merupakan sebuah film yang sangat sarat akan kekerasan dimana tema cerita berkisar atas kepahlawanan 300 prajurit Sparta yang mampu keluar dari tekanan melawan tentara Parsi.

Kali ini, 300 tidak akan berperang dengan tentara Parsi namun akan mencoba berloma meraih yang terbaik dari sekumpulan bajak laut dalam film `Pirates of the Caribbean sequel, Dead Man's Chest`.

Untuk kategori film terbaik, baik 300 maupun The Pirates harus bisa menyingkirkan film `Blades of Glory`, `Little Miss Sunshine` dan `Borat`.

Perhatian khusus perlu dilayangkan kepada Blades of Glory dan Borat yang bisa menjadi kuda hitam karena kedua film ini seperti halnya 300 dan The Pirates juga sukses di pasar sebagai pemuncak film box office.

Aktor `The Pirates' Johnny Depp dan Keira Knightley keduanya juga mendapatkan nominasi untuk kategori `best performance` untuk bersaing kembali dengan aktor utama 300, Gerard Butler, Will Smith dalam `The Pursuit of Happyness` dan dua pemain dari film `Dreamgirls' Beyonce Knowles dan Jennifer Hudson.

Untuk kategori peran penjahat akan diperebtukan oleh Bill Nighy (Pirares), Rodrigo Santoro (300), Tobin Bell (Saw III) , dan Jack Nicholson (The Departed) serta Meryl Streep dalam film `The Devil Wears Prada`.

Inggris meraih sukses tersendiri dalam nominasi MTV Movie Awards 2007 dimana komedian Sacha Baron Cohen dalam film `Borat` mendapatkan 3 nominasi.

Baron Cohen juga mendapatkan nominasi untuk kategori `best comedic performance` untuk bersaing dengan Ferrell, Adam Sandler, Ben Stiller dam aktris asal Inggris lainya Briton Emily Blunt.

Blunt yang tampil dalam film `The Devil Wears Prada` juga masuk nomasi nuntuk `the best breakthrough performance` dan akan bersaing dengan aktris pelakon `Little Miss Sunshine' Abigail Breslin dan Jaden Smith dalam film `The Pursuit of Happyness`.

Aktris asal Inggris lainya Lena Headey (300), Stomp (the Yard's Columbus Short) dan penyanyi Justin Timberlake (Alpha Dog) juga mndapatkan nominasi.

Sarah Silverman yang menjadi pemandu acara dalam malam final `the 2006 Independent Spirit Awards` dijadualkan akan bertindak serupa saat MTV Movie Awards akan digelar 3 juni mendatang di `the Gibson Amphitheatre ` Los Angeles (AS).


Russel Crowe Kembali Bekerjasama Dengan Ridley Scott

Variety, Russell Crowe akan bermain sebagai Sheriff dalam drama terbaru milik Universal Pictures garapan Ridley Scott, “Nottingham.” Film tersebut juga diproduksi oleh Brian Grazer untuk Imagine Entertainment. Crowe dan Scott sebelumnya pernah bekerjasama pada pembuatan film “Gladiator,” “A Good Year” dan “American Gangster.”

Film ini bercerita tentang Sheriff terhormat dan penegak hukum yang bekerja untuk raja korup dan terlibat cinta segitiga dengan Maid Marion dan Robin Hood.
"Nottingham" akan mulai digarap pada tahun 2008 mendatang. Sebelumnya, Scott akan mengarahkan Leonardo DiCaprio pada musim semi ini untuk penggarapan film thriller CIA produksi Warner Bros. Thriller berjudul “Body of Lies” ini dibuat dengan mengadaptasi novel karangan David Ignatius. Skenario film ditulis oleh William Monahan yang pernah mengerjakan skenario “The Departed.”
Ada empat film Crowe yang akan beredar pada tahun ini, keempat film tersebut adalah “3:10 to Yuma,” “American Gangster,” “Bra Boys” dan “Tenderness.” Crowe pernah mendapatkan Oscar berkat perannya dalam film “Gladiator.” Ia juga sempat sekali membawa pulang Golden Globe Award untuk perannya dalam film “A Beautiful Mind.”

Warga New York Menyambut Hangat SPIDERMAN 3



Pemutaran perdana Spiderman 3 menjadi tontonan bagi tamu kehormatan Festival Film Tribeca di New York. Selain tokoh baik, pemeran antagonis Sandman dan Venom tidak ketinggalan menyapa penggemar mereka.Setelah meraih sukses di Eropa dan Asia, pihak Colombia Pictures mengelar premier atau pemutaran perdana film Spiderman 3 di Kota New York, Amerika Serikat, Selasa (1/5). Warga menyambut hangat pemutaran perdana sekuel film superhero yang terakhir tersebut.

Pemutaran perdana Spiderman 3 menjadi tontonan bagi tamu kehormatan Festival Film Tribeca di New York. Sebelum bintang-bintang pendukung tiba di tempat acara sebuah parade musik disiapkan. Tidak lama kemudian, Tobby Maguire dan Kirsten Dunst menyapa pendukung dalam sesi karpet hitam. Aktor kunci lainnya seperti Thomas Haden Church dan Topher Grace, pemeran antagonis Sandman dan Venom tak ketinggalan menyapa penggemar mereka.

Spiderman 3 memang ditunggu-tunggu para penggemar dari berbagai belahan dunia. Betapa tidak, di sekuel ini Peter Parker harus menentukan sikap kemana arah jalinan asmara dengan sang kekasih Mary Jane. Dia harus menaklukan sisi kelamnya. Belum lagi ancaman musuh, Sandman dan Venom.

Spider-Man 3” Mengandalkan Special Effect yang Fantastis

Setelah lama dinantikan, akhirnya “Spider-Man 3” bakal tayang di Indonesia pada awal Mei 2007. Pihak Sony Pictures selaku rumah produksi menjanjikan bahwa film ini akan menampilkan sejumlah adegan seru dengan special effect spektakuler. Setelah menyaksikan film ini, yakinlah bahwa apa yang diungkapkan oleh Sony Pictures bukan sekedar sesumbar.

Adegan-adegan pertempuran spektakuler dalam film garapan Sam Raimi ini dapat dinikmati sejak menit pertama hingga menit terakhir film ini. Hal inilah yang membuat film yang alur cerritanya relatif standar ini menarik. Film baru dimulai sekitar 10 menit ketika Spider-Man (Tobey Maguire) harus bertarung menghadapi sahabatnya Harry Osborn (James Franco) yang memakai kostum Goblin. Penonton akan dibuat terpukau oleh adegan pertempuran yang melibatkan keduanya, terutama ketika mereka bertarung sambil melayang di tengah gang sempit yang diapit oleh dua gedung tinggi.

Adegan tersebut hanyalah pemanasan, karena film berdurasi 140 menit ini masih menyisakan banyak 'keajaiban' Computer Generated Imagery di dalamnya. Sebut saja wujud dari karakter Sandman/Flint Marko (Thomas Haden Church) yang luar biasa. Sosok Flint yang semula hanya manusia biasa berubah menjadi manusia yang terbentuk dari sekumpulan butiran pasir setelah tanpa sengaja ia terjatuh ke dalam sumur percobaan pemisahan molekul. Selain itu, penonton juga akan dibuat kagum sekaligus ngeri pada penampilan musuh baru Spider-Man (Venom) yang sebenarnya adalah Eddie Brock (Topher Grace) karakter fotografer freelance harian Bugle yang menaruh dendam pada Peter Parker. Butuh waktu lima jam proses make up untuk menciptakan karakter Venom yang terbalut sulur hitam yang elastis.

Selain jumlah konflik yang sepertinya terlalu banyak, tidak ada yang istimewa dalam naskah film yang dikerjakan oleh Sam Raimi, Ivan Raimi dan Alvin Sargent ini. Peter Parker masih disibukkan dengan pilihan hidupnya sebagai jagoan, kegiatan perkuliahan yang belum juga berhasil ia tuntaskan walaupun ia diceritakan sebagai pria kutu buku berkarakter cerdas dan kehidupan cintanya dengan Marry Jane Watson (Kirsten Dunst). Konflik berawal saat Peter bertemu dengan Harry Osborn yang masih menaruh dendam padanya karena ia menganggap Peter sebagai pembunuh ayah Norman Osborn (Willem Defoe). Harry yang bermaksud menuntaskan dendamnya pada Peter justru mengalami kecelakaan yang mengakibatkan hilangnya memori jangka pendek dari benaknya. Ketika ia sadar dari perawatan, ia justru merasa bahwa Peter adalah sahabat sejatinya.

Pada sisi lain kehidupan New York, terdapat seorang ayah bernama Filnt Marco yang putrinya menderita sakit parah, ia merasa terpaksa mencuri untuk mengobati putrinya. Ia kemudian melarikan diri dan menjadi buronan polisi sampai akhirnya ia terjatuh ke sumur percobaan dan menjadi Sandman yang kebal. Informasi dari pihak kepolisian mengungkapkan bahwa Flint adalah orang yang telah menembak mati Paman Peter, Ben. Mendengar kabar tersebut, Peter terbakar dendam. Dengan dukungan kekuatan gelap Venom, warna kostum Spider-Man berubah menjadi hitam dan ia kemudian memburu Sandman. Peter yang masih terpengaruh kekuatan Venom menjelama menjadi pria menyebalkan yang senang bertingkah. Tanpa perasaan ia membantai Harry, menyakiti Marry Jane dan mempermalukan saingannya yang merupakan fotografer harian Bugle, Eddie Brock (Topher Grace).

Seperti pada sekuel “Spider-Man” sebelumnya, Tobey Maguire dan Kirsten Dunst kembali tampil sebagai pasangan serasi. Baik Maguire maupun Dunst mampu menampilkan permainan yang baik. Maguire sukses menjadi karakter baik hati, kutu buku dan juga jagoan. Pada “Spider-Man 3” ini karakter Peter yang sempat menjadi gelap dan bertingkah juga ia mainkan dengan cukup baik. Karakter Eddie Brock juga cukup kuat dimainkan oleh Topher Grace yang sebelumnya bermain dalam serial laris “That's 70s Show.”

Untuk kelas film yang mengangkat karakter action figure komik, film “Spider-Man” bisa dikategorikan sebagai salah satu yang terbaik. Hal tersebut sangatlah wajar mengingat special effect yang digunakan dalam film ini terbilang canggih dan fantastis, selalu ada perkembangan dari “Spider-Man” pertama hingga terakhir yang dapat dinikmati penggemarnya. Selain itu, ada bonus jagoan dadakan di akhir cerita. Jadi, jangan sampai melewatkan film ini...


Labels: